MATERI PEMBELAJARAN SKI KELAS 6 SEMESTER 2
KHOLIFAH ALI BIN ABI TALIB
Sejarah,Biografi Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu'anhu
Dari seluruh sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib adalah salah satu yang
pertama kali memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw.
Ia memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kedudukan ini sangat istimewa
diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para
sahabat tersebut tidak dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang
dikerjakan generasi berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw.
melarang mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu.
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan
Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Ali bin Abi
Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama
Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan. Ali semanjak
kecilnya sudah dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, dia termasuk orang yang
sangat fasih berbicara dan pengetahuannya juga tentang Islam sangat luas
sehingga tidak heran dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak
meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.
Ali menggantikan kekhalifahan Usman bin Affan yang telah meninggal sebelum
jabatannya berakhir selama kurang lebih sekitar lima tahun, setelah sebelumnya
dilakukan bai’at, dia banyak melakukan perubahan hukum ketatanegaraan seperti
kebijakan tentang hak pertanahan, pembagian harta warisan perang. Juga timbul
bermacam-macam masalah yang dapat mempengaruhi kemajuan dan kemunduran negara
Islam. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah kemajuan dan
kebijakan politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib serta kemunduran akibat
pemberontakan-pemberontakan yang ditandai perang terbuka antar umat Islam.
A. ALI BIN ABI THALIB
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah
Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum
dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan).
Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap
Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut
berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Haydar yang
berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang
dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan
tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat
di sisi Allah).
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah SAWkarena
beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib
memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau Khadijah untuk
mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas
jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga
dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika
Rasulullah SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq
menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau
orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali
berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari
Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan
Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama Fatimah. Hal
inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran
tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang
diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau
Sahabat-sahabat yang lain.
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah
maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan dan
diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada
orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari
Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir
(exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali
menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam
berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW.[4] Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa
dan selalu hadir pada setiap peperangan karena itu dia selalu berada di barisan
paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.
B.
Pembaiatan ali bin abi thalib sebagai khalifah dan kemajuan yang dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5] Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Usman bin
Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai beranggapan bahwa
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk
memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya. Ali Terpilih menjadi
khalifah sebenarnya menimbulkan pertentangan dari pihak yang ingin menjadi
khalifah dan dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya
khalifah Usman bin Affan.
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar yang
keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan kenikmatan
hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan lunak menjadi keadaan
yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai
Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas
kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan
Ali.
Dalam
menjalankan kepemerintahan Ali melakukan kebijakan politik seperti sebagai
berikut:
1.
Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh
sektor bisnis.
2. Memecat
Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang
baru
3. Mengambil
kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman bin Affan kepada
keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara
jelas dan memfungsikan kembali baitul maal.[8]
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit
mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir Arab
dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang telah ditaklukkan
Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab
di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Usman di
Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia hingga Georgia.
Ali bin Abi
Thalib juga dikenal juga seorang penyair ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah
kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan
berujung pada .....,
Syair-syair
Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah.
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M)
tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama
memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontkan di berbagai wilayah
kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan
yang masih setia dan mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara
yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun
demikian, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan
egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang sangat wajar dan
pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat pertentangan dan
peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk memperebutkan kekuasaan yang
diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya Usman dan juga pemecatan-pemecatan
pejabat serta pengembalian harta milik yang tidak jelas.
C.
PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena ia
adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak
diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang
memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai
lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur
Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia dapat
mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh
pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering
berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai wewenang yang
penuh untuk menentukan bawahannya dan mencari yang loyal dengan
kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah yang pada saat itu telah
berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota yang sangat strategis dan
memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat tidak
tinggal diam dan ingin melakukan pemberontakan.
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang patut
disalahkan dalam hal kematian khalifah Usman bin Affan dan tidaklah mencari
para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah sebenarnya tidak
sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan kecuali sebagai pemicu
untuk memberontak terhadap Ali.
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar
pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh itu
atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali.
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah wafatnya
Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima tahun).
Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara
untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari
berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan
pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sahabat
senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran
hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam
D. PERANG
JAMAL/ONTA
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda Rasulullah SAW
dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan mengendarai
unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun
36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang
sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan
Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang
dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman
bin Affan terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika
mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul
oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan tipis
bahwa hukum akan ditegakkan. Karena menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan
kebijakan sendiri karena ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan
dukungan dari keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya
mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat
dukungan masyarakat setempat.
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa
di Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi
Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah.
Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga orang tokoh terkenal yaitu
Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta para pengikutnya di
Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya
ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas atas
kematian Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara dirinya dengan
Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa tuduhan selingkuh terhadap dirinya
(hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain
adalah persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar,
yang kemudian disusul dengan sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar,
dan yang terakhir ada faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi
untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar
memberontak terhadap Ali.
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam
peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan diri dan
dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga
Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya
dipimpin Aisyah hingga akhirnya ontanya dapat dibunuh maka berhentilah
peperangan setelah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia
menghormatinya dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh kehormatan dan
kemuliaan.
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena kenigninan dan nafsu
perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh
perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair bernafsu besar untuk
menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin
untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan dengan
mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih
lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi bagian
yang sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usul
mereka.
E. PERANG
SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali
dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat tepian sungai
Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M.
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini
diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam sejak
khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas kematian Utsman kepada Ali
agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at
Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu,
nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah
bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah
Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam,
untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau
meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan sebelum
tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga
menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak diambil
tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu
Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya
Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di wilayahnya menentang Ali,
sehingga mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di
wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk
melawan khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan
Mu’awiyah itu sebenarnya tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman,
tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia sebelumnya
tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa awal
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan oleh Mu’awiyah,
akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam peristiwa perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk
menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan pasukan dari
Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir
pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang terus
diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan jabatan.
Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak tawaran Ali,
bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar Ali dan pengikutnya membai’at
dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh
kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri. Tetapi
pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal
sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat
hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat busuk
dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh
Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah
mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan
Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang
baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu
mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari
jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian mengumumkan
bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah
yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi khalifah sekarang
adalah Mu’awiyah.
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya,
mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu
tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan
sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan
pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah
kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada hukum
Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.
Kaum
khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi
kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam
F. AKHIR PEMERINTAHAN ALI
F. AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali,
menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya
sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah
menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin
bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui
perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan kaum
Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak
disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin
Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang
akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman
ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh tersebut.
Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua
luput dari pembunuhan tersebut.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah
semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan
demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan
dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sunni
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para
pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu
Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum
Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan
wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.
Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah
bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain
menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka
bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel
hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya
bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih
diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada
yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan
anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi
bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu
Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut
atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik
ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke
Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan
menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur
sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah
tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri
kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak
hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu
mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di
bawah Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas
pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun
lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu
Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam
bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam
sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman
Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam
perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia
yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika
memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama
dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum
Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut
sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang
sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak
mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan
bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang
berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan
Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut.
Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta
mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit
musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga
terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua
peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad
untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib,
perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat
sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi
Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat
Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat
untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan
kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke
Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak
mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu
itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah
memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali
satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya
dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang
menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah
yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi
Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan
para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan
di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya
selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya.
Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah
tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Keturunan Ali bin Abi Thalib
Ali memiliki
delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki
keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak
Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Anak laki-laki
|
Anak perempuan
|
Hasan
al-Mujtaba
|
Zainab
al-Kubra
|
Husain
asy-Syahid
|
Zainab
al-Sughra
|
Muhammad
bin al-Hanafiah
|
Ummu
Kaltsum
|
Abbas
al-Akbar (dijuluki Abu Fadl)
|
Ramlah
al-Kubra
|
Abdullah
al-Akbar
|
Ramlah
al-Sughra
|
Ja'far
al-Akbar
|
Nafisah
|
Utsman
al-Akbar
|
Ruqaiyah
al-Sughra
|
Muhammad
al-Ashghar
|
Ruqaiyah
al-Kubra
|
Abdullah
al-Ashghar
|
Maimunah
|
Abdullah
(yang dijuluki Abu Ali)
|
Zainab
al-Sughra
|
รข€˜Aun
|
Ummu Hani
|
Yahya
|
Fathimah
al-Sughra
|
Muhammad
al-Ausath
|
Umamah
|
Utsman
al-Ashghar
|
Khadijah
al-Sughra
|
Abbas
al-Ashghar
|
Ummu
al-Hasan
|
Ja'far al-Ashghar
|
Ummu
Salamah
|
Umar
al-Ashghar
|
Hamamah
|
Umar
al-Akbar
|
Ummu Kiram
|